Senin, 01 Desember 2008

Menilik Makam Puyang Tegeri Yang Akan Dijadikan Cagar Budaya

Mungkin tidak banyak warga Prabumulih yang mengetahui secara pasti sejarah kota ini yang zaman dulu dikenal dengan PEHABUNG ULEH. Bukan hanya warga pendatang tapi bahkan mungkin penduduk asli Prabumulih sekalipun.

Kota berjulunkan kota Nanas dengan luas sekitar 21.953 hektar ini sebetulnya sudah ada sejak sekitar 700 tahun silam. Prabumulih pada masa itu didirikan dari beberapa talang-talang kecil yang lama-lama menjadi cikal bakal berdirinya dusun Pehabung Uleh, Tanjung Raman, Sukaraja, Karang raja, Muara Dua dan dusun Gunung Kemala. Nah orang yang dianggap berjasa terbentuknya kota Prabumulih adalah Puyang Tegeri.
Namun sayang, jangankan mengenal sosok Puyang Tegeri, lokasi makamnyapun mungkin banyak warga Prabumulih yang tidak tahu. Prabumulih Pos bersama ketua DPRD Kota Prabumulih, Ahmad Azadin BE dan Ketua Komisi A, M Erwadi BE kemarin nyekar kemakam itu, sekalian menyaksikan langsung kondisi makam tersebut.
Letak makam tersebut tidak terlalu jauh dari pusat kota, letaknya masih di jalan Jenderal Sudirman. Hanya butuh waktu sekitar 5 menit untuk mencapai makam Puyang Tegeri tersebut apalagi sebagian jalannya sudah diaspal. Tapi sebagian lainnya terutama untuk mencapai makam jalannya masih becek dan belum teraspal. Dikanan kiri jalan, pepohonan rindang meneduhi wilayah sekitar makam, suara air sungai kelekar yang beriak terdengar bak lantunan melodi indah.
Lokasi makam terletak diujung jalan itu. Dilokasi makam terlihat ada 2 (dua) makam besar berada ditempat terpisah, semua makam dikandang seukuran bahu pria dewasa dan dipasang dak untuk melindungi dari panas dan hujan. Salah satu makam hanya dipagar kayu alakadarnya. Sama dengan makam-makam tua lainnya, suasana dilokasi yang disebut Talang Tumbang Babat itu agak menyeramkan, nyaris tidak terdengar suara kendaraan meski jaraknya hanya beberapa ratus meter dari jalan raya, apalagi pepohonan dan semak belukar mengelilingi lokasi makam.
Dilokasi itu, ternyata bukan terdapat dua makam saja, tapi masih ada puluhan makam lainnya yang berada ditempat terpisah, hanya berjarak beberapa meter dari dua makam tua tadi. Selintas puluhan makam tadi tak terlihat jelas, karena tertutup semak dan belukar. ”Pagar hidup dari bambu rencananya akan di ganti dengan pagar permanen ujar Azadin.”
Saat tiba di lokasi makam Azadin dan Erwadi langsung mendekati salah satu makam yang catnya didominasi warna kuning, sambil menunjuk azadin menyebutkan jasad siapa yang berada dibawah kuburan itu. ”Ini makam Puyang Tegeri, dan disebelahnya adalah makam Puyang Anyar.” Sekilas mata memandang, siapapun pasti akan berpendapat bahwa lokasi makam bersejarah itu sangat tidak terawat. Kondisi jalannya becek, sampah dimana-mana, bahkan lingkungan dua makam utama. Selain itu kondisi cat dan bangunan yang menaungi makam tadi juga ala kadarnya. Berbeda jauh dengan makam-makam bersejarah yang ada di kota/kabupaten lain di Indonesia.
”Ini semua akan kita perbaiki, ini nanti kita rencanakan menjadi Cagar Budaya Prabumulih. Nanti jalan masuk menuju puyang akan kita cor beton, lalu didaerah makam jalannya kita con-block jelas azadin.
Meski lokasi makam bersejarah itu tidak terawat, tapi suasana diloksi makam yang rencananya akan dijadikan cagar budaya itu masih asri. Suasananya juga teduh, mirip suasana dihutan. Mungkin, jika rencana menjadikan makam Puyang Tegeri sebagai Cagar Budaya jadi dilakukan, satu hal yang harus dipertahankan yakni keasrian daerah itu.

Ketika pertama kali menginjakan kaki dimakam Puyang Tegeri, mata wartawan Prabumulih Pos langsung tertuju kepada makam yang berukurang sedang. Yang menarik perhatian, selain lokasinya yang masih asri, tanah diatas makam terlihat menggunduk.
Makam itu selintas malah mirip bukit kecil. Tapih anehnya, jika itu memang bukit kenapa diatasnya dipenuhi batangan kay dan batu. Ukurang batangan kayu dan batu diatas makam tadi lebih besar jika dibanding dengan batu bisan makam tersebut. Ketua DPRD, Ahmad Azadin BE langsung menjelaskan, ”Kayu dan batu ini adalah tanda kurban yang dilakukan keturunannya atau masyarakat kepada puyang, menurut dia, setiap batang kayu atau batu melambangkan jumlah hewan kurban yang telah diberikan kepada puyang atau leluhur. Semakin banya batang kayu atau batu diatas makam, berarti hewan kurban yang diberikan juga sebanyak itu. ”Biasanya idul adha kita berkurban, kalau ada yang kurban untuk puyang, mereka biasanya menaruh batangan kayu atau batu diatas makam, sebagai tanda mereka telah berkurban.”
Sebagai keturunan lansung dari Puyang Tegeri, Azadin sangat mengerti silsilah keturunannya, dia bahkan faham hampir seluruh keturunannya.
Diatas dua makam, yakni makam puyang Tegeri dan Puyang Anyar yang ada didaerah tersebut, mungkin ada puluhan batang kayu dan batu dimasing-masing makam. Dan itu artinya ada puluhan kurban yang sudah dipersembahkan bagi kedua puyang tersebut. ”Puyang Anyar ini adalah anak Puyang Tegeri, ada lagi anak-anaknya yang lain seperti Puyang Dale, Puyang Iran, dan lainnya.
Talang Tumbang Babat, lokasi makam Puyang Tegeri dan keturunannya, dipercayai adalah daerah cikal bakal berdirinya Kota Prabumulih, sejak sekitar 700 tahun silam. Sebagai bukti jelas Azadin, didaerah tersebut dulunya adalah sawah-sawah. ”Ini adalah hulu sungai kelekar, sungai inilah yang dijadikan sumber untuk mengairi sawah-sawah yang ada disekitar sini,” terangnya meceritakan sejarah.
Suara kicauan burung dan gemercik air waktu itu seolah menjadi latar, dari kisah yang diceritakan Azadin. Lanjut dia, bukti lainnya, didaerah tersebut sejak dulu sudah terbentuk danau-danau kecil yang airnya sangat bening.
Sungai kelekar lanjut Azadin, sejak Jaman dulu dijadikan sumber kehidupan Puyang Tegeri dan semua keturunannya, bahkan sampai sekarang, sungai kelekar juga dijadikan inspirasi bagi para seniman lokal dalam menciptakan lagu dan tari-tarian. ”Kita kan punya Pencak ngigal sungai kelekar, nama itu diambil dari sungai kelekar. Ngigal artinya maju-mundur, karena itu tari yang sering digunakan untuk menyambut tamu-tamu besar dipraktekan dengan cara maju-mundur, tukasnya.

Dikutip dari Prabumulih Pos
Tanggal 20 dan 21 Nopember 2008

By: DB Rambang

Rabu, 19 November 2008

Cabut PP No 2 tahun 2008, demi kehidupan anak cucu kita! (disadur dari Buletin SADAR)

Ditulis Oleh Desmiwati*
Thursday, 06 March 2008


Pada tanggal 4 Februari 2008, SBY telah menerbitkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Entah apa logika yang digunakan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan komodifikasi (proses memungkinkan barang bisa diperjualbelikan) atas hutan, sehingga kita wajar gusar tentang PP ini yang lahir tanpa mempertimbangkan kelangsungan hutan Indonesia. Padahal hutan kita diakui sebagai paru-paru dunia terakhir untuk menjaga kelangsungan kehidupan di bumi. PP ini tidak memikirkan nasib anak cucu kita yang kelak yang akan menerima dampak dan penderitaan lebih besar dari yang telah merasakan hari ini sebagai dampak hancurnya hutan Indonesia dengan datangnya bencana. Silih berganti banjir, longsor, kebakaran hutan, kekacauan iklim dan masih banyak lagi bencana yang menjadi tanda-tanda hancurnya kehidupan di bumi akibat pengrusakan alam demi kepentingan modal.
Pemerintah lewat PP No 2 ini menjual hutan kita dengan harga fantastis, yaitu: Rp.300/per m², alias setara harga 2 buah permen. Tidak itu saja, PP ini pun tak secara tegas mencantumkan siapa subjek dan objek dari pengenaan tarif tersebut, hanya menyebutkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tigapuluh persen) dari luas DAS (Daerah Aliran Sungai) atau pulau. Yang akan berpesta pora, tentu saja perusahaan pertambangan seperti Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, Pelsart, dll. Pemodal mendapat legitimasi melakukan operasi pengerukan kekayaan bumi Indonesia dengan harga super murah, per meter persegi hutan sama dengan membeli 2 buah permen.
Dalam lampiran PP ini disebutkan penggunaan kawasan hutan untuk: pertambangan terbuka yang dilakukan secara horizontal, vertical, bawah tanah dan untuk kepentingan migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay pemancar televisi, ketenagalistrikkan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, bahkan jalan Tol. PP ini membuat sah pembabatan hutan lindung dan (apalagi) hutan produksi, dengan berbagai peruntukan yang disebut di atas. Pemerintah melalui PP ini memandang fungsi hutan bertentangan dari definisi UU No. 41/1999 (dan telah mengalami perubahan pertama menjadi UU No. 19 tahun 2004) tentang fungsi hutan sebagai kawasan lindung, produksi, produksi terbatas dll. PP No.2 yang absurd ini, ternyata terkait dengan “pembuka jalan” yang telah dikeluarkan pada masa Megawati guna memungkinkan komodifikasi hutan seperti diatur Peraturan pengganti undang-undang (perpu) yang berisikan pengecualian untuk beberapa perusahaan tambang boleh beroperasi di hutan lindung. Sekarang saja telah ada 158 perusahaan tambang yang memiliki izin di kawasan lindung dengan luasan sekitar 11,4 juta hektar.
Kebijakan yang tidak sinergis dengan komitmen penyelamatan lingkungan demi kepentingan sosial telah menambah daftar panjang kesalahan rezim SBY-JK yang jelas sangat berpihak pada kepentingan korporasi, dibanding kepentingan rakyat. Ironisnya, masih segar dalam ingatan kita, perhelatan akbar Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim pada Desember 2007 lalu di Bali yang menghasilkan berbagai komitmen dan rencana strategis dan rencana aksi untuk mengurangi dampak pemanasan global (global warming) terutama dengan menjaga hutan, mengubah gaya hidup yang boros energi dan meninggalkan perilaku tidak ramah lingkungan, karena semuanya itu hanya akan mempercepat penghancuran bumi. Lahirnya PP ini, bukan saja paradoks tapi juga memalukan bangsa Indonesia di mata dunia karena sesat fikir dalam memaknai hasil konferensi PBB itu dengan malah membuat kebijakan yang bertentangan dengan spirit dan komitmen mengurangi dampak pemanasan global. Kita perlu menyerukan pencabutan PP no.2/2008 dikampanyekan secara luas agar masyarakat jangan terus dibohongi kebijakan rezim yang seolah-olah demi kepentingan pembangunan masyarakat namun ternyata terang-terangan mengakomodir kepentingan korporasi/modal. Hutan adalah bagian amanat dari kehidupan mendatang, menyelamatkan hutan sama artinya dengan menyelamatkan kehidupan.
*Penulis adalah Koordinator Divisi Dana dan Usaha Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP PRP)

SONDI Dilaporkan Ke POLDA

PERNYATAAN Wakil ketua I DPRD Kota Prabumulih, H. Sondi Senanduro soal Sharing dana kesehatan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota Prabumulih bebrapa waktu lalu berbuntut panjang.
Imformasinya, Sondi kemarin dilaporkan ke Siaga Ops Polda Sumsel oleh Gubernur Sumsel terpilih, Ir H Alex Noerdin SH diwakili oleh staf hukum Pemprov, Hendri Setiawan SH, warga jalan Letnan Murot Komplek perumahan rakyat, rt 13/5 20 Ilir IV, Kecamatan IT 1, Palembang. Laporan itu diterima oleh kepala siaga Ops Shief C Polda Sumsel Kompol Toheriyanto, sekitar oukul 08.30 Wib, dengan nomor laporan LP/664-B/XI/2008 Siaga Ops Polda Sumsel.
Informasinya Sondi Senanduro dilaporkan atas dugaan perbuatan tidak menyenangkan sesuai pasal 335 KUHP.
Dalam laporannya, pelapor mengatakan, insiden tersebut berawal ketika Jumat lalu (14/11/08) di gedung Pemprov sekitar pukul 16.30 Wib, Gubernur membaca halaman 1 salah satu media masa. Dikolom tersebut tertulis ajakan pemprov terhadap peran serta kabupaten/kota untuk turut menalangi dana program berobat gratis dianggap suatu kebohongan publik oleh terlapor. Membaca berita tersebut, Gubernur diduga merasa tidak berkenan, lantas melaporkan politisi asal PDI-P ke Polisi.
Humas Polda Sumsel Kombespol Jodu Heriyadi membenarkan adanya laporan tersebut dan mengaku sudah menerima laporan tersebut. Namun kata dia, untuk tindak lanjut, Polda terlebih dahulu akan menyelidiki secara teliti laporan yang dibuat tersebut. ”Laporan sudah diterima namun pemanggilan anggota dewan harus ijin gubernur atau bupati. Kita akan selidiki dulu apa yang dilaporkan pelapor, apakah dia melapor secara pribadi atau secara institusi (sebagai gubernur sumsel)” terang Jody.
Terpisah Prabumulih pos kemarin juga mengkonfirmasi terlapor, H Sondi Senanduro. Pria yang sudah dua periode menjabat sebagai anggota DPRD kota Prabumulih itu menanggapi dingin laporan tersebut.
Kata dia, apa yang dikritisi soal dana sharing kesehatan antara pemeritah kota Prabumulih dengan pemerintah Provinsi beberapa waktu lalu adalah aspirasi rakyat yang coba ia sampaikan. “saya ini wakil ketua DPRD, dan saya berhak menyampaikan aspirasi rakyat. Karena uang yang akan digunakan untuk sharing program berobat gratis itu adalah uang rakyat Prabumulih yang akan digunakan,” tegasnya dengan nada tinggi.
Sondi juga mengatakan, kritik yang ia sampaikan adalah kritik politisi yang juga seharusnya ditanggapi secara politisi oleh Gubernur. ”Kan biasa ini kritik politisi, dewan berhak mengkritik walikota maupun Gubernur, karena yang kami katakan adalah bentuk perjuangan kami kepada rakyat. Apapun hasilnya nanti terserah, yang penting kami berjuang untuk rakyat Prabumulih, karena kami adalah wakil mereka,” Kata Sondi dengan nada meradang lagi.


Dikutip dari Prabumulih Pos
Tanggal 18 November 2008

By: DB Rambang

Pemkot Anggarkan Rp. 2.5 Miliar Lebih

Untuk Program sharing Berobat Gratis

Prabumulih – Program berobat gratis untuk masyarakat Prabumulih yang direncanakan menggunakan dana sharing bersama pemerintah provinsi, mengharuskan pemerintah kota Prabumulih perlu menganggarkan dana lebih dari Rp. 2 Miliar.
Itu dikarenakan, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Prabumulih, rencana berobat gratis yang masuk dalam program Sumsel Semesta, akan membutuhkan sekitar Rp 4.591.080.000.
Dana itu adalah hasil penotalan dari anggaran yang disiapkan untuk memberikan pelayanan pengobatan gratis kepada sekitar 76.518 jiwa, yang selama ini tidak masuk dalam program pelayanan kesehatan apapun yang dimiliki pemerintah seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Asuransi Kesehatan (Askes), dan Jaminan Asuransi Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dari 76 ribu lebih warga calon pnerima program berobat gratis ini, anggaran pelayanan kesehatan gratis untuk masing-masing warga disiapkan sekitar Rp.5000 ata Rp.60 ribu untuk satu bulan per satu warga. Dengan demikian jika total anggaran yang diperlukan mencapai sekitar 4\rp 4.5 miliar lebih.
Untuk menutupi program berobat gratis tersebut, pemerintah kota Prabumulih perlu menyiapkan dana sekitar Rp. 2.754.648.000 atau sekitar 60 persen dari total anggaran yang diperlukan untuk mencukupi anggaran berobat gratis bagi lebih dari 76 ribu warga prabumulih. ”Sisanya 40 persen akan di sharing dengan pemerintah provinsi,” kata kepala Dinas Kesehatan Kota Prabumulih. Dr Iwan Hasibuan didampingi Kabid Program rusli Kholik SKM MKM diruang kerjanya.
Menurut Iwan, seluruh masyarakat nantinya akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama sekelas warga yang masuk program Jamkesmas. Untuk pelayanan kesehatan di puskesmas desa atau puskesmas pembantu, setiap warga yang masuk dalam program Sumsel Semesta nantinya berhak menggunakan segala fasilitas misalnyua persalinan, Instansi Gawat Darurat, sunat atau khitan, rawat jalan, pelayanan KB, hingga pemeriksaan gigi. ”Ini pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat di tingkat pustu,” terangnya.
Untuk pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas, lanjut Iwan semua fasilitas yang didapat di puskesdes dan pustu akan ditambah lagi dengan pelayanan, transpor pemulangan (Warga yang berobat di IGD Puskesmas, hingga transport untuk jenazah dan emergency.
Masih kata Iwan, tidak hanya itu saja, bagi masyarakat yang dirujuk dari puskesmas ke RSUD Prabumulih, atau RS Moh Hoesin Palembang bahkan hingga RS Cipto Mangun Kusumo Jakarta juga berhak untuk dirawat inap. ”Jika dirumah sakit, pelayanan kesehatan sekelas Jamkesmas atau rawat inap dan mendapatkan pelayanan kesehatan kelas III. Kalau untuk obat semuanya generik.” terangnya.
Program berobat gratis ini diharapkan kata Iwan bisa berjalan mulai awal januari 2009 mendatang. Kata dia, warga tidak perlu membayar untuk pengobatan di tingkat mana saja, mulai dari puskesdes atau pustu, puskesmas hingga rumah sakit daerah. Untuk Administrasi, warga yang berobat nantinya tinggal menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Atau Kartu Keluarga (KK), kepada petugas kesehatan. ”Kalau untuk petugas kesehatan, semua sudah kita sosialisasikan. Sosialisasinya sudah kita mulai sejak bulan kemarin. Sekarang kita akan masuk tahap sosialisasi kepada masyarakat.” terangnya.

Dikutip dari Prabumulih Pos
Tanggal 18 November 2008

BY: DB Rambang

Selasa, 18 November 2008

Menumbuhkan Kembali Minat Baca

Ditulis Oleh Eka Pangulimara H*
Wednesday, 22 October 2008


Minat baca rendah bukan saja menggejala pada kalangan kurang berpendidikan, kalangan lebih terdidik pun lebih banyak yang malas baca ketimbang berasyik-masyuk dengan buku-buku. Contoh sederhana, mahasiswa universitas negeri sekalipun sedikit sekali yang membaca koran tiap harinya.
Membaca masih merupakan kegiatan yang “dinomersekiankan” dibanding menonton atau mendengar. Tidak aneh, di tengah kemeriahan tontonan populer yang disokong oleh tayangan-tayangan televisi, budaya membaca masyarakat boleh dibilang masih jalan di tempat. Gambaran yang lugas bisa kita ditemui dari rating penjualan buku-buku di toko buku yang tidak seberapa dan sepinya perpustakaan, baik perpustakaan sekolah, kampus maupun milik pemerintah daerah.
Aktivitas membaca sebenarnya bukan terletak pada saat–saat pengerjaan sebuah tugas. Namun, justru di sinilah kerap kita jumpai tradisi yang berkembang di masyarakat kita. Di bangku sekolah dasar misalnya, sebuah buku akan tergenggam seorang murid, jika terdapat PR, atau akan menghadapi ujian/test. Begitupun di bangku perguruan tinggi, buku akan dibaca serius, perpustakaan akan ramai dikunjungi, lagi-lagi karena ada semacam test ataupun penyusunan tugas akhir dan skripsi.
Bagi sebagian besar kaum buruh, membaca agak sering, terlihat apabila sedang mengalami suatu kasus. Keterpakasaan itu mendatangkan keharusan membuka Undang-Undang Perburuhan. Membolak-balik lembaran buku saku, dan terbitan serikat buruh. Mengamati perkembangan kasusnya yang tertulis di koran. Lebih dari itu, banyak pengurus serikat buruh perlu ekstra energi dan bermacam inisiatif mendorong anggotanya agar mampu meningkatkan kemauan membaca.
Dalam pengalaman seseorang semisal sekolah dasar kalau tidak melalui Taman Kanak-Kanak, kita bisa menemukan proses bagaimana manusia mulai belajar mengenal huruf, dan menyebutnya sebagai aktivitas membaca.
Membaca tulisan inipun, terang saja tak bisa lepas dari dialektika –gerak- pengalaman mula-mula, mengenal huruf seperti di atas. Lewat membaca kitapun bisa melalui lompatan-lompatan peristiwa dan, mendapati refleksi pertama kali kita belajar membaca. Asyik bukan?
Membaca tidak melulu berorientasi pada penyelesaian tugas, maupun sebuah hasil. Di kalangan penulis buku, mereka yang lebih memahami teknik menulis, dan piawai dalam penyerapan berbagai bacaan, memeroleh pengalaman tersendiri, hingga mereguk kenikmatan, tak kala, menjelujuri alur cerita dari apa yang ia baca. Sebut saja penulis buku berjudul “Dunia di Balik Jeruji” dan “Orang dan Partai Nazi di Indonesia” (Wilson). Sempat berkomentar panjang di sebuah halaman blogspot (via internet), yang memuat tulisan teman lama (Bung Buds) berjudul “Antara Penguatan Akar Rumput dan Strategi Politiknya di Era Neoliberalisme”. “Dengan tulisannya yang indah dan mengalir lancar,” terang Wilson.
Sejak dini
Faktor-faktor penyebab kesulitan dalam pembelajaran membaca bisa terentang dari persoalan lingkungan keluarga yang tidak kondusif, dominasi budaya non-baca, motivasi membaca yang rendah pada diri seorang anak, termasuk metode pembelajaran dahulu, atau kekinian yang kurang memadai yang diberikan guru.
Jika ditelisik, ternyata rendahnya minat baca bermula semenjak pembelajaran membaca diterima anak-anak sekolah dasar.
Membaca merupakan aktivitas auditif dan visual untuk memperoleh makna dan simbol berupa huruf atau angka. Aktivitas ini meliputi dua proses, yakni decoding – juga dikenal sebagai proses membaca teknis – dan proses pemahaman. Decoding merupakan proses pengubahan simbol-simbol tertulis berupa huruf atau kata menjadi sistem bunyi atau sejenisnya. Pada tingkat inilah seorang anak sekolah dasar menemui kesulitan pertama untuk membaca.
Beberapa penelitian mengklasifikan kesulitan membaca dalam lima hal; Pertama, kesalahan mengidentifikasikan kaitan bunyi-bunyian. Kedua, kebiasaan arah membaca yang salah. Ketiga, kelemahan kemampuan pemahaman. Keempat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan jenis bacaan dan kelima, kelemahan dalam hal kecepatan membaca.
Langkah nyata
Ada tiga langkah solusi yang cukup efektif untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut. Pertama, diperlukan kampanye budaya membaca yang intensif dan komprehensif. Untuk menjadikan masyarakat kita memiliki kebudayaan membaca yang kuat. Kampanye ini harus dimulai dari tingkat terendah baik itu di dalam keluarga (entitas terkecil dalam lingkungan masyarakat), dan juga di setiap sekolah dasar. Simaklah layar televisi kita setiap hari, dari segudang iklan, dan tontonan tak bermutu lainnya, nyaris tidak ada suatu tayangan berisi kampanye budaya membaca, barang sesekali dalam sebulan.
Kampanye budaya membaca mesti sampai kepada masyarakat luas, di setiap lapangan pekerjaan dan profesi. Kampanye ini cukup berkorelasi terhadap proyeksi sistem dan anggaran pendidikan negara. Kalau saja sistem dan anggaran pendidikan ini berbasis kerakyatan? Kontrol dan peran masyarakat sebagai penerima hak atas pendidikan yang memadai tentu saja berbarengan dengan pengadaan infrastruktur yang memudahkan masyarakat untuk mengakses beragam bacaan.
Kondisi ini tidak terlepas atas pembiayaan membeli buku. Sehingga pemerintah perlu menjamin keberadaan harga buku yang murah, mulai dari buku pelajaran di sekolah, perguruan tinggi, dan buku-buku pengetahuan umum lainnya. Dibutuhkan suatu gerai penyedia buku di banyak tempat menurut hirarki teritorial pemerintahan, dimana pemerintah berperan menyediakannya, dengan ongkos beli yang tidak mahal!
Yang kedua, taman bacaan berbasis kegiatan. Salah satu aspek penting keberadaan taman bacaan bukanlah sekedar satu ruang berisi buku-buku yang ditumpuk begitu saja. Taman bacaan memerlukan aktivitas tambahan yang menjadi magnet bagi warga sekitar akhirnya merubung tempat tersebut. Dengan bekal tantangan seperti ini, taman bacaan tak seperti gula bagi semut. Perlu ada rekayasa, program-program dan terutama aktivitas riil sehingga mampu mengundang calon pengunjung setia. Lebih menarik lagi jika para pengguna perpustakan akhirnya malah terlibat dalam banyak kegiatan perpustakaan.
Tiadanya aktivitas inilah salah satu hal yang membuat perpustakaan daerah kebanyakan kusam dan berdebu, di samping minimnya koleksi. Padahal, mal sekalipun (yang jauh lebih menarik dalam penampilan dan kesan), selalu pro-aktif menyelenggarakan acara-acara.

Kegiatan-kegiatan seperti apakah yang bisa diaktifkan oleh taman bacaan? Banyak dan sangat bervariasi. Kegiatan tersebut bisa langsung berhubungan dengan buku, contohnya bedah buku, temu pengarang/penulis atau aktivitas kampanye peningkatan minat baca lainnya (misalnya mendatangkan selebritis pecinta buku sesekali). Bahkan, jika memiliki tenaga yang memadai, taman bacaan juga dapat menerbitkan buku-buku atau buletin reguler. Tujuannya untuk mewadahi kreativitas pembaca, info buku-buku baru dan menularkan gemar baca ke semakin banyak orang.

Namun aktivitas taman bacaan juga bisa tak berkaitan langsung dengan buku. Kegiatan lain dapat saja diselenggarakan, misalnya mengadakan lomba-lomba untuk anak-anak (melukis, mewarnai atau menulis), teater, baca puisi/cerpen, tari-tarian bahkan pertunjukan musik sederhana. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengelola taman bacaan berjejaring dengan pihak-pihak lain. Di Solo pengelolaan ini dilakukan oleh salah seorang sastrawan dari kota Bengawan Joko Sumantri, dengan Rumah Sastra-nya. Malahan di Wonosobo, mantan TKW Maria Bo Niok, selain kini berpredikat sebagai novelis, ia juga aktif mengelola “Istana Rumbia” sebuah nama dari taman bacaan yang ia miliki.
Langkah nyata terakhir yang bisa diambil sebagai pilihan adalah dengan model tutor sebaya. Tutor sebagai istilah teknis secara umum diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seseorang untuk memberikan bimbingan dan bantuan belajar kepada orang lain. Seseorang sebagai teman sebaya yang bisa diajak sekaligus berdiskusi mengenai isi bacaan, dan manfaat pengalaman membaca tidak sekedar menghafal, akan tetapi menjadi suatu proses mengkaji.
Teringat pengalaman subyektif penulis beberapa waktu yang lampau dalam memahami indahnya budaya membaca, di tengah kesepian, keheningan, dan kesendirian, seorang teman lama, pernah berujar, “Jadikanlah setiap buku yang kau baca, sebagai kapak yang akan memecah lautan beku di dalam hatimu.”*Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya