Rabu, 19 November 2008

Cabut PP No 2 tahun 2008, demi kehidupan anak cucu kita! (disadur dari Buletin SADAR)

Ditulis Oleh Desmiwati*
Thursday, 06 March 2008


Pada tanggal 4 Februari 2008, SBY telah menerbitkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Entah apa logika yang digunakan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan komodifikasi (proses memungkinkan barang bisa diperjualbelikan) atas hutan, sehingga kita wajar gusar tentang PP ini yang lahir tanpa mempertimbangkan kelangsungan hutan Indonesia. Padahal hutan kita diakui sebagai paru-paru dunia terakhir untuk menjaga kelangsungan kehidupan di bumi. PP ini tidak memikirkan nasib anak cucu kita yang kelak yang akan menerima dampak dan penderitaan lebih besar dari yang telah merasakan hari ini sebagai dampak hancurnya hutan Indonesia dengan datangnya bencana. Silih berganti banjir, longsor, kebakaran hutan, kekacauan iklim dan masih banyak lagi bencana yang menjadi tanda-tanda hancurnya kehidupan di bumi akibat pengrusakan alam demi kepentingan modal.
Pemerintah lewat PP No 2 ini menjual hutan kita dengan harga fantastis, yaitu: Rp.300/per m², alias setara harga 2 buah permen. Tidak itu saja, PP ini pun tak secara tegas mencantumkan siapa subjek dan objek dari pengenaan tarif tersebut, hanya menyebutkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tigapuluh persen) dari luas DAS (Daerah Aliran Sungai) atau pulau. Yang akan berpesta pora, tentu saja perusahaan pertambangan seperti Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, Pelsart, dll. Pemodal mendapat legitimasi melakukan operasi pengerukan kekayaan bumi Indonesia dengan harga super murah, per meter persegi hutan sama dengan membeli 2 buah permen.
Dalam lampiran PP ini disebutkan penggunaan kawasan hutan untuk: pertambangan terbuka yang dilakukan secara horizontal, vertical, bawah tanah dan untuk kepentingan migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay pemancar televisi, ketenagalistrikkan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, bahkan jalan Tol. PP ini membuat sah pembabatan hutan lindung dan (apalagi) hutan produksi, dengan berbagai peruntukan yang disebut di atas. Pemerintah melalui PP ini memandang fungsi hutan bertentangan dari definisi UU No. 41/1999 (dan telah mengalami perubahan pertama menjadi UU No. 19 tahun 2004) tentang fungsi hutan sebagai kawasan lindung, produksi, produksi terbatas dll. PP No.2 yang absurd ini, ternyata terkait dengan “pembuka jalan” yang telah dikeluarkan pada masa Megawati guna memungkinkan komodifikasi hutan seperti diatur Peraturan pengganti undang-undang (perpu) yang berisikan pengecualian untuk beberapa perusahaan tambang boleh beroperasi di hutan lindung. Sekarang saja telah ada 158 perusahaan tambang yang memiliki izin di kawasan lindung dengan luasan sekitar 11,4 juta hektar.
Kebijakan yang tidak sinergis dengan komitmen penyelamatan lingkungan demi kepentingan sosial telah menambah daftar panjang kesalahan rezim SBY-JK yang jelas sangat berpihak pada kepentingan korporasi, dibanding kepentingan rakyat. Ironisnya, masih segar dalam ingatan kita, perhelatan akbar Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim pada Desember 2007 lalu di Bali yang menghasilkan berbagai komitmen dan rencana strategis dan rencana aksi untuk mengurangi dampak pemanasan global (global warming) terutama dengan menjaga hutan, mengubah gaya hidup yang boros energi dan meninggalkan perilaku tidak ramah lingkungan, karena semuanya itu hanya akan mempercepat penghancuran bumi. Lahirnya PP ini, bukan saja paradoks tapi juga memalukan bangsa Indonesia di mata dunia karena sesat fikir dalam memaknai hasil konferensi PBB itu dengan malah membuat kebijakan yang bertentangan dengan spirit dan komitmen mengurangi dampak pemanasan global. Kita perlu menyerukan pencabutan PP no.2/2008 dikampanyekan secara luas agar masyarakat jangan terus dibohongi kebijakan rezim yang seolah-olah demi kepentingan pembangunan masyarakat namun ternyata terang-terangan mengakomodir kepentingan korporasi/modal. Hutan adalah bagian amanat dari kehidupan mendatang, menyelamatkan hutan sama artinya dengan menyelamatkan kehidupan.
*Penulis adalah Koordinator Divisi Dana dan Usaha Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP PRP)

Tidak ada komentar: