Rabu, 05 November 2008

NEGARA MENGORBANKAN HAK BURUH


NEGARA MENGORBANKAN HAK BURUH
(SKB Empat Menteri Soal Upah Buruh)


Satu lagi kebijakan pemerintah yang menyengsarakan buruh/pekerja dikeluarkan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri yang ditanda tangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Perindustrian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perdagangan.

MESKIPUN SKB 4 Menteri itu berjudul ”Pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi Nasional dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi global”, isi utamanya sebenarnya mengatur masalah penetapan upah minimum. SKB empat menteri tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundangan-undangan di idang Perburuhan.
Dalam pasal 3 SKB tersebut dijelaskan bahwa gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi Nasional. Pasal itu bertentangan dengan Pasal 88 a(4) UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, pengatura upah minimum sudah secara tegas diatur dalam Permenaker No.1/1999 jo Kepmenakertrans No.226/2000 Tentang Upah Minimum. Perhitungan kebutuhan hidup layak juga sudah diatur secara terperinci di dalam Permenakertrans No.17/2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Dengan demikian, pasal 3 SKB ini bertentangan pula dengan Permenakertrans yang mengatur upah minimum tersebut. Bagaimana mungkin kenaika upah minimum tidak boleh melebihi angka pertumbuhan ekonomi, sedangkan angka pertumbuhan ekonomi nasional saaat ini jauh dibawah angka inflasi, apa lagi angka kebutuhan hidup layak.
Bandingkan pertumbuhan ekonomi Nasional 2008 yang kemungkinan hanya sekitar 6%(enam persen). Sedangkan angka inflasi 2008 berkisar 12%(dua belas persen). Itu berarti upah buruh akan senantiasa digerogoti oleh angka inflasi tersebut. Upah buruh yang naik dibawah angka inflasi itu berarti upah riil buruh turun. Bisa dibayangkan betapa semakin mederitanya kehidupan buruh, dimana upah riilnya semakin lemah semakin berkurang. Upah buruh saat ini saja masih jauh dari kehidupan yang layak, apalagi jika dilegalkan untuk berkurang nilai riilnya.
Sebenarnya, tanpa dilegalkan pun mengenai penurunan upah riil buruh tersebut, nilai riil upah minimum yang selama ini terjadi sudah teru menerus turun. Sebagai perbandingan, pada 1997 upah minimum buruh (di Surabaya) sebesar 250 ribu rupiah, sedangkan gaji PNS terendah adalah 150 ribu rupaiah. Ini artinya bahwa upah buruh hampir dua kali lipat dari gaji PNS pada saat itu. Pada tahun 2008 terjadi sebaliknya, upah minimum buruh rata-rata 805 ribu, sedangkan PNS golongan terendah telah mencapai 1,6 juta rupaiah. Jadi, sekarang gaji PNS terendah adalah hampir dua kali lipat upah minimum buruh.
Demikian pula makna upah dari segi upah riil yang diterima buruh. Pada tahun 1997, upah minimum buruh mampu untuk membeli 350 kg beras (dengan harga 700 rupaiah per kilogram pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras sebanyak 160 kilogram beras (dengan harga beras 5000 per kg di tahun ini). Ini bermakna, upah riil buruh terjun bebas berkurang hampir 50% (lima puluh persen).
Argumentasi pemerintah bahwa upah seharusnya dirundingkan bersama antara pengusaha dengan buruh tanpa campur tangan dari pemerintah merupakan kemungkinan kebijakan. Secara filosofi, masuknya pemerintah dalam hubungan industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha.
Dalam konteks perburuhan di Indonesia, proteksi terhadap buruh merupakan kewajiban pemerintah untuk menghindari eksploitasi pengusaha terhadap buruh, di mana buruh dalam kondisi tidak berdaya karena keterbatasan buruh.
Sementara itu, jika upah minimum diserahkan pada pasar tenaga kerja, bencana liberalisasi hubungan industrial akan menjadi kenyataan di republik ini. Liberalisasi hubungan industrial pasti akan membawah buruh pada kondisi yang makin tidak berdaya menghadapi kapitalisasi pengusaha.
Buruh tidak memiliki banyak pilihan ketika disodorkan kepadanya sebuah angka upah yang jauh dari layak. Sebab, buruh memag membutuhkan sesuap nasi untuk menyambungkan hidup dirinya dan keluarganya. Pilihan pahit bagi buruh ialah menerima upah yang tidak layak untuk dimakan daripada tidak sama sekali yang akan mengakibatkan kelaparan.

GLOBALISASI.
Argumentasi lain dari pemerintah mengenai ”Asbaunnuzul” SKB empat menteri tersebut adalah mengentisipasi krisis global merupakan argumentasi klasik yang selalu dikampanyekan ketika pemerintah akan mengeluarkan kebijakan baru di bidang perburuhan.
Logika pemerintah ini berarti bahwa krisis global tidak boleh menumbangkan sektor usaha, tetapi boleh menghabisi kehidupan kaum buruh. Bukan hanya sekali ini buruh dijadikan tumbal demi investasi, melainkan sudah sangat sering. Ketika kondisi sektor usaha suram akibat salah urus negara dan salah urus perusahaan oleh pengusaha, yang dijadikan kambing hitam dan dikorbankan pertama kali adalah buruh.
Sementara itu, kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk SKB tidak dikenal nomenklaturnya di dalam UU no. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Seandainya substansi yang diatur dalam kebijakan pemerintah tersebut melintasi banyak bidang, seharusnya kebijakn itu ditarik keperaturan yang lebih atas, yakni dalam bentuk peratura Presiden. Mengapa dalam hal ini presidentidak berani mengambil kebijakan itu dan hanya memasang menteri-menterinya untuk mengeluarkan kebijakan tersebut?
Sungguh sebuah kebijakan yang penuh tangan-tangan tersembunyi (invisible hand) dan menyengsarakan kaum buruh.

Ditulis Oleh:
DR. M. HADI SHUBHAN
Dosen Hukum Perburuhan Fakultas Hukum UNAIR.


Disadur dari Prabumulih Pos Tanggal 05 November 2008

Tidak ada komentar: